vv Understand that failure is not the opposite of success .. But part of success.: Perang, Air Mata Dan Sebuah Pengorbanan

Jumat, 02 Desember 2011

Perang, Air Mata Dan Sebuah Pengorbanan


Suatu pagi yang cerah dibawah langit kota Kabul, Afghanistan… Alyona semangat sekali menjalani harinya hari ini, remaja 15 tahun itu sedang buru-buru menyisir rambut pirangnya, sementara ayahnya memanggilnya dari bawah agar mempercepat aktivitasnya karena takut telat.
“Sebentar, ayah!”
Sahut Alyona dari jendela atas kamarnya kebawah, dia mendapati ayahnya sedang menunggunya, memakai kacamata dan jas, menenteng briefcase nya, bersama sepeda ontel, yang memiliki jok belakang untuk membonceng.
Alyona melihat bayangannya sendiri di cermin, rambut pirangnya, tulang pipinya yang tinggi, kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, matanya yang hijau, ketika dia tersenyum tersembul lesung pipinya, juga bibirnya yang semerah ranum, semua itu masih diwarisinya dari nenek, ibu, lalu pada dirinya.. Setelah menyalami ibunya lalu mereka berangkat.
“Selamat pagi”
Sahut Alyona pada pak Amir, tukang sepatu dia adalah seorang Tajik, pada Bu Mariam penjual roti dan dia adalah seorang Hazara, dan pak Tariq, sahabat keluarga, seorang Pasthun sama dengannya. Kota dan orang-orang disini sangat bersahabat walaupun dengan suku etnis yang berbeda dan mereka semua hidup dengan rukun. Tempat kelahiran juga tempat tinggal ini telah merekam segala keindahan hidupnya. Dia sangat menikmatinya.
J
“Nominasi murid teladan kali ini, Zahira Rasheeda, Wow!”
 Alyona sedang membaca madding, dikagetkannya dengan seorang yang begitu dia kenal, wajahnya memang sangat tidak asing baginya, Zahira, pemenang nominasi murid teladan kali ini .. Dia adalah Sahabatnya dari kecil, dia memang baik dan menyenangkan, dia sangat pandai dalam matematika dan fisika, dengan senang hati dia membantu Alyona dalam memahami rumus yang double sulit, super ribet, mega rumit itu, lebih baik menulis al-Qur’an deh, daripada harus menjilati rumus seperti itu pikir Alyona.
Sudah lama mereka memimpikan sesuatu yang begitu besar, sesuatu yang hidup, mereka sudah meluapkan sejuta ide-ide cemerlangnya untuk itu, yaitu membangun panti asuhan untuk anak2 terlantar akibat peperangan di luar negeri, ditinggal mati oleh sanak saudaranya, anak2 yatim piatu yang butuh perhatian, mereka disana akan mengajari mereka cara shalat yang benar, mengajari mereka mengaji, mereka akan menceritakan kisah para Nabi dan Rasul sebagai pengantar tidur mereka. Zahiralah yang nanti mengajarkan berbagai pelajaran, dan Alyona yang akan mengajarkan bagaimana berbicara yang baik sekaligus menjadi seorang pendongeng, mereka benar-benar sangat antusias, menolong mereka tanpa imbalan adalah sesuatu yang indah, niat yang begitu mulia itu sudah mereka rencanakan, bahkan mereka sudah membagi-tugas.

6 bulan kemudian (February, 1980)
-----Terjadi perang antara Soviet –  Afghanistan. Dimana Uni Soviet berusaha mempertahankan pemerintahan Marxis Afghanistan, yaitu Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan, menghadapi pasukan Mujahidin Afghanistan yang ingin menggulingkan pemerintahan, bersama Ahmad Shah Mas’ud, Panglima Perang dari Jamiat Islami juga melawan Soviet-----
J
            Memeluk lutut, menenggelamkan wajah dilututnya, menggeram, mengerang, sebisa mungkin dia menyumbat telinganya dengan kedua telapak tangannya, duduk bersembunyi  dibalik balutan selimutnya, tapi semua usahanya itu sia-sia, pada malam itu suara itu masih saja terdengar, menggelegar, suara bom dimana2, dia bisa melihat sinar ledakan dari jendela kamarnya, layaknya kembang api tahun baru, namun kali ini diwarnai dengan kengerian dan pertumpahan darah secara massal. Dia berkaca, dia melihat dirinya sangat berantakan, rambut kusut bersemburat kelabu lengkap dengan wajah seperti orang sakit, lebih mirip seperti mayat hidup. Dalam perang ini, Alyona selalu mendo’akan kakakknya, Ahmad, yang ikut berjihad bersama Mujahidin menggulingkan pemerintahan yang sedang dipegang dan dikuasai Soviet, saat berdoa air matanya bercucuran mengalir melintasi pipinya, lalu menitik di mukenanya, di tangannya yang sedang menengadah.
Kabul kali ini bukan lagi kota yang dia kenal selama ini, melainkan kota asing, bukan lagi tempat bermain, melainkan medan perang yang menakutkan, bukan lagi kota yang aman dan damai, tapi kota yang penuh dengan ketakutan dan rintihan, tak jarang rumah disekitar daerahnya terkena hantaman bom yang salah sasaran itu, hampir seharian dia mengurung diri di kamar, tak banyak yang dia lakukan, sebagian besar yang dia lakukan hanyalah termenung, melamun, ingin sekali rasanya dia membebaskan dirinya dari ‘neraka’ dunia ini.. dari suara hantaman bom, dari suara peluru dari senapan Kalashnikov, dan suara reruntuhan bangunan yang lebih mirip suara petir baginya, sangat memekikan telinga, tentu saja dia tak bisa beradaptasi dengan situasi seperti ini, sebuah keputusan yang tak bisa disetujuinya, tapi tentu saja dia tak bisa menyalahkan alam, semua peperangan ini, demi mempertahankan Negaranya sendiri ini, telah merenggut kebahagiaan dari dirinya sendiri, menghiasi masa remajanya dengan perang dan senjata, terasa begitu pahit.
Tak jarang dia menemukan potongan tubuh di jalan, atap, dll. Dia juga pernah mendapati tangan buntung yang terlontar ke jendela kamarnya sebelum akhirnya dibersihkan ayahnya, seketika itu dia berteriak bukan main, merinding, bulu kuduknya berdiri tegak, itu semua membuatnya jijik dengan urat-urat tangan yang putus, kain yang dilumuri darah, daging yang sobek dan tulang yang patah dan runcing tajam tak rata, juga cincin perak yang bertuliskan ‘I love you’ yang tersemat di jari manisnya, sesuatu itu membuatnya seperti ada sesuatu dalam perutnya yang membuatnya ingin muntah.
Dia juga belum berani keluar rumah semenjak ayahnya mengeluarkannya dari sekolah sebulan bulan yang lalu, memang ini keputusan terbaik walau pahit, dibanding harus mempertaruhkan nyawa keluar dari rumah, biasanya yang keluar rumah hanya pada saat darurat, tak pernah mereka sekeluarga sengaja berdiam diri diluar, dan akhirnya yang mengajarinya belajar adalah ayahnya sendiri, setiap malam Alyona datang membawa buku ke kamar orang tuanya, dan ayahnya mengajarinya dengan sangat baik, ditemani dengan gemuruh suara bom dan senapan yang mengisi hampir seluruh hari-harinya. Keluar rumah memang mengundang segala kengerian, seperti keluar dari kandang yang aman, dan memasuki alam liar yang membahayakan, memang sangat mengerikan, bahkan sampai sekarang dia belum menemui Zahira. Alyona jadi teringat kata sahabatnya itu.
“Hey, Alyona. Suatu saat ketika aku telah mempunyai anak empat atau lima, dipagi hari aku akan memungut Koran di jalan, dan aku akan mendapati wajahmu terpampang dihalaman pertama, disana dikatakan bahwa kau telah membuat perubahan besar di negeri ini”
Ah, bagaimana bisa? Ayahku bahkan sudah memecatku dari jabatanku sebagai siswi, sepertinya kau terlalu bermimpi, Zahira. Hhh.. Dimana kau sekarang Zahira? Tak terbayangkah olehmu disini aku merindukanmu? Aku benci semua ini, segala kerusuhan dan semua peperangan ini, aku sangat mengutuknya! Ini semua! Aku tak tahan, ini semua merenggut kebahagiaanku bersamamu, Zahira. Jangan katakan kalau aku takkan melihatmu lagi, walaupun keadaannya berbahaya setiap waktu, aku pasti bisa menemuimu, Zahira. Harus pasti! Bukankah kita punya sebuah mimpi yang tak lama lagi akan terwujud? Kita akan melakukan itu semua setelah aku menemuimu, Zahira. Mengingat dalam peperangan di Negeri kita ini begitu banyak tangisan, begitu banyak rintihan anak2 kecil mengemis belas kasihan, aku tak kuasa melihatnya, dengan luka disekujur tubuh mereka. Zahira, aku tau mimpi ini begitu nyata dan aku tahu kita bisa mewujudkannya. Makanya, aku yakin Allah memberikan izinnya kepadaku untuk menemuimu.
J
“Mami, kita harus pergi dari sini”
Kata Alyona, membuka topic usai makan malam di rumah itu, mereka hanya berdua saja, Ayahnya tidak bergabung dengan mereka, dia sedang dikamar, dia masih sibuk memikirkan bagaimana nasib dan keselamatan keluarganya nanti.
“Jangan bodoh Alyona ku, kemana lagi kita bisa pergi?”
“Kita bisa ke tempat yang lebih aman, misalnya Pakistan, atau yang lain!”
“Satu satunya tempat teraman adalah di rumah!”
“Rumah? Tidakkah Mami lihat rumah tetangga kita ada yang hancur menjadi debu?! Itukah yang Mami sebut ‘aman?’ ”
Mata Alyona mulai berkaca-kaca, menatap ibunya lekat-lekat, membuatnya semakin tak yakin dapat bertemu Zahira karena jawaban ibunya yang menentang kemauan Alyona
“Diluar sana sangat berbahaya… Memangnya siapa yang ingin kau temui diluar sana? Para tentara dan para pemberontak?”
“Zahira Mamii.. aku sudah tak berjumpa dengannya dalam kurun waktu yang lama..”
“Mami mengerti, tapi itu adalah hal yang sangat bodoh, membiarkan dirimu keluar rumah dan itu tak menjamin kau dapat bertemu dengannya! Bisakah kau menunggu?”
“Menunggu? Menunggu perang ini usai menurut Mami? Yang benar saja, perang ini bisa berlangsung bertahun tahun!”
Alyona bisa merasakan air mata mengaliri pipinya, matanya sembab dan ada sesuatu yang membuat tenggorokannnya sakit, membuatnya sulit bicara, dengan segera Alyona berlari menaiki tangga, membanting pintu, kunci diputar lalu membanting tubuhnya di atas kasur, terisak. Alyona menangis dalam shalatnya, berdoa untuk kakaknya dan agar ada jalan supaya dapat bertemu Zahira.
            Tak lama kedua orangtuanya memasuki kamarnya, nampaknya ayahnya telah mengetahui pertempuran antara Alyona dan ibunya di ruang makan. Mereka bicara dengan baik-baik, ibunya sebenarnya tahu kalau Zahira sedang di rumah sakit, ada sedikit luka pada tubuhnya tertiban serpihan bangunan yang rubuh, Alyona terisak mendengarnya. Akhirnya, dengan kemampuan Alyona beragumentasi dengan baik, ibunya mengizinkannya pergi, dengan syarat pergi bersama paman, ibunya mempercayakan keselamatan nyawa putrinya itu  pada pamannya, ayahnya mendapat informasi bahwa adiknya besok akan pindah dan melewati rumah sakit tersebut, jadi Alyona bisa menumpanginya, lagi pula pamannya tahu jalur yang aman untuk dilewati, jadi tak usah khawatir. Saat itu Alyona senang bukan main, dia teriak sekencang-kencangnya, mengecup pipi kedua orangtuanya. Diam-diam ibunya merasa akan kehilangan putri bungsunya itu.
“Aku akan menemuimu, Zahira”
Katanya sebelum dia menutup mata. Entahlah, malam ini perasaannya begitu tenang, rileks, tak ada keraguan dalam hatinya, yang ada hanyalah niat yang kuat dan tekad yang bulat untuk menolong anak2 itu dan untuk bertemu sahabat tersayangnya. Setelah itu barulah dia tidur dengan nyenyak, selama peperangan ini berlangsung baru kali ini dia bisa tidur dengan lelapnya.
J
“Aku berangkat”
Kata Alyona pada ayah dan ibunya, setelah pamannya bersama mobil Toyota Corolla hitam tuanya keluaran tahun 70-an itu terparkir di halaman rumahnya. Suara luncuran roket-roket mulai terdengar, kemudian suara ledakan besar, disusul asap hitam yang menggumpal mengotori langit Kabul yang sudah kotor. Barang bawaan sudah lengkap, saatnya untuk pergi.
“Kau janji pulang dengan selamat ya, nak” kata ibunya
“Aku janji, Mami” jawab Alyona sambil mengecup pipi ibunya
“Ayah, aku berangkat” giliran Alyona mengecup tangan ayahnya
“Ingat, kau harus berhati-hati” Pesan ayahnya
“Aku janji”
Setelah perpisahan, Alyona pergi bersama pamannya, pamannya bercerita tentang niatnya ke Pakistan untuk menyusul anak dan isterinya disana, dia juga menanyakan tujuan Alyona ke Rumah Sakit dan untuk bertemu siapa, perjalanan mereka memakan waktu 8 jam, Alyona melakukan shalat dalam mobil, lalu Alyona tertidur dia bermimpi dia bertemu bidadari di suatu tempat yang sangat indah, dia terbangun.  Akhirnya mereka sampai di rumah sakit pukul empat sore.
Setelah berpamitan dengan pamannya dan mengucapkan sejuta terima kasih, Alyona dengan ranselnya harus menyebrangi jalan untuk menggapai rumah sakit itu. Jalan itu sepi, terlihat sebuah mobil yang sudah hangus terbakar, jalanan yang retak, lampu-lampu jalan rusak, di pohon pun yang tersisa hanyalah batangnya. Dia menarik nafas dan mulai melangkahkan kakinya diawali dengan bismillah.. yah, dia berhasil sejauh ini, tinggal 10 meter lagi sampai di rumah sakit.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti, padahal sebentar lagi dia sampai, pandangannya tajam lurus kedepan, tak menyangka siapa sosok yang terlihat, setengah tak bernafas dia mencoba mengeja nama itu “I.. Itukah?? Za… Zah.. Zahira?”. Tebakannya benar, itu Zahira, berada di teras rumah sakit, sendirian, diatas kursi roda, tangannya di gips, tangan lainnya melambai-lambai pada Alyona, wajahnya sangatlah senang, dari kejauhan terlihat Zahira menangis terharu. Begitu juga Alyona.
Tiba-tiba ada satu roket jatuh dari langit, menimpa Alyona yang masih berdiam diri di tengah jalan, melamun. Zahira yang begitu kagetnya langsung mengayuh kursi rodanya dengan sebelah tangan, sambil berteriak “Tolong!” Orang2 dalam rumah sakit pun berlarian keluar.
Kejadian yang sungguh tiba-tiba, Alyona terlontar, tubuhnya kini bersimbah darah dan menjadi beberapa bagian, tubuhnya telah terhempas ke jalan dan terbakar, kakinya putus, terlempar ke teras rumah sakit, kaki yang masih terbalut kaus kaki dan sepatu hitam kesayangannya. Mayat Alyona kini berada di tengah-tengah kobaran api, Zahira tak kuasa melihatnya, tangisnya meledak, ini masih sesuatu yang mustahil bagi Zahira. Dia menatap wajah Alyona, matanya masih terbuka seolah sedang menatapnya, Dan Zahira masih melihat air mata di pipi Alyona, yang dahulu dialah yang selalu menghapusnya dengan jempol kala Alyona sedang sedih.
L
Keesokan harinya, di rumah Alyona
Zahira hanya bisa termenung di depan mayat sahabatnya itu, terisak di rumah Alyona sambil memeluk foto Alyona yang sedang tersenyum manis berseragam hijau, namun sekarang mayatnya sudah ditaruh di sebuah balok kayu putih berukiran bunga melati, itu karena tubuhnya sudah terpisah, sementara ibunya menangis histeris, sedang ditenangkan oleh ayahnya dan para tetangga yang masih selamat.
Zahira terlihat telah kehilangan sesuatu yang amat sangat berharga baginya melebihi emas dan permata, Alyona, dulu yang membiarkan Zahira mengepang rambutnya, dulunya Alyonalah yang mengolesi cat kuku di jari2 Zahira, Alyona yang dulu sering kalah beradu fisika dengannya, yang nantinya akan membangun sebuah mimpi membangun panti asuhan, harus pergi. Alyona yang tidak bisa memenuhi janji ibunya untuk pulang selamat, Alyona yang tidak bisa melihat kakaknya pulang membawakan hadiah kemerdekaan, Alyona tidak diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, dan itu takdir, tak ada satu orang pun yang bisa mengubah kehendak-Nya.
“Alyona, kau tidak mati sia-sia, kau mati bersama niat yang begitu mulia, aku merasakannya. Kau akan melihat negri kita ini merdeka, dan aku akan membangun panti asuhan sepeti katamu. Kau akan melihatnya... Melalui mataku” Tutur Zahira dalam hati.

The End.
Oleh : Dini Zahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar