Suatu
pagi yang cerah dibawah langit kota Kabul, Afghanistan… Alyona semangat sekali
menjalani harinya hari ini, remaja 15 tahun itu sedang buru-buru menyisir
rambut pirangnya, sementara ayahnya memanggilnya dari bawah agar mempercepat
aktivitasnya karena takut telat.
“Sebentar, ayah!”
Sahut Alyona dari jendela atas
kamarnya kebawah, dia mendapati ayahnya sedang menunggunya, memakai kacamata
dan jas, menenteng briefcase nya, bersama sepeda ontel, yang memiliki jok
belakang untuk membonceng.
Alyona
melihat bayangannya sendiri di cermin, rambut pirangnya, tulang pipinya yang
tinggi, kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, matanya yang hijau,
ketika dia tersenyum tersembul lesung pipinya, juga bibirnya yang semerah
ranum, semua itu masih diwarisinya dari nenek, ibu, lalu pada dirinya.. Setelah
menyalami ibunya lalu mereka berangkat.
“Selamat pagi”
Sahut Alyona pada pak Amir,
tukang sepatu dia adalah seorang Tajik, pada Bu Mariam penjual roti dan dia
adalah seorang Hazara, dan pak Tariq, sahabat keluarga, seorang Pasthun sama
dengannya. Kota dan orang-orang disini sangat bersahabat walaupun dengan suku etnis
yang berbeda dan mereka semua hidup dengan rukun. Tempat kelahiran juga tempat
tinggal ini telah merekam segala keindahan hidupnya. Dia sangat menikmatinya.
J
“Nominasi murid teladan kali
ini, Zahira Rasheeda, Wow!”
Alyona sedang membaca madding, dikagetkannya
dengan seorang yang begitu dia kenal, wajahnya memang sangat tidak asing
baginya, Zahira, pemenang nominasi murid teladan kali ini .. Dia adalah Sahabatnya
dari kecil, dia memang baik dan menyenangkan, dia sangat pandai dalam
matematika dan fisika, dengan senang hati dia membantu Alyona dalam memahami
rumus yang double sulit, super ribet, mega rumit itu, lebih baik menulis
al-Qur’an deh, daripada harus menjilati rumus seperti itu pikir Alyona.
Sudah
lama mereka memimpikan sesuatu yang begitu besar, sesuatu yang hidup, mereka
sudah meluapkan sejuta ide-ide cemerlangnya untuk itu, yaitu membangun panti
asuhan untuk anak2 terlantar akibat peperangan di luar negeri, ditinggal mati
oleh sanak saudaranya, anak2 yatim piatu yang butuh perhatian, mereka disana
akan mengajari mereka cara shalat yang benar, mengajari mereka mengaji, mereka
akan menceritakan kisah para Nabi dan Rasul sebagai pengantar tidur mereka.
Zahiralah yang nanti mengajarkan berbagai pelajaran, dan Alyona yang akan
mengajarkan bagaimana berbicara yang baik sekaligus menjadi seorang pendongeng,
mereka benar-benar sangat antusias, menolong mereka tanpa imbalan adalah
sesuatu yang indah, niat yang begitu mulia itu sudah mereka rencanakan, bahkan
mereka sudah membagi-tugas.
6 bulan kemudian (February, 1980)
-----Terjadi perang antara Soviet –
Afghanistan. Dimana Uni Soviet berusaha mempertahankan pemerintahan
Marxis Afghanistan, yaitu Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan, menghadapi
pasukan Mujahidin Afghanistan yang ingin menggulingkan pemerintahan, bersama
Ahmad Shah Mas’ud, Panglima Perang dari Jamiat Islami juga melawan Soviet-----
J
Memeluk lutut, menenggelamkan wajah dilututnya, menggeram,
mengerang, sebisa mungkin dia menyumbat telinganya dengan kedua telapak
tangannya, duduk bersembunyi dibalik
balutan selimutnya, tapi semua usahanya itu sia-sia, pada malam itu suara itu
masih saja terdengar, menggelegar, suara bom dimana2, dia bisa melihat sinar
ledakan dari jendela kamarnya, layaknya kembang api tahun baru, namun kali ini
diwarnai dengan kengerian dan pertumpahan darah secara massal. Dia berkaca, dia
melihat dirinya sangat berantakan, rambut kusut bersemburat kelabu lengkap
dengan wajah seperti orang sakit, lebih mirip seperti
mayat hidup. Dalam perang ini, Alyona selalu mendo’akan kakakknya, Ahmad, yang ikut berjihad bersama Mujahidin
menggulingkan pemerintahan yang sedang dipegang dan dikuasai Soviet, saat
berdoa air matanya bercucuran mengalir melintasi pipinya, lalu menitik di
mukenanya, di tangannya yang sedang menengadah.
Kabul
kali ini bukan lagi kota yang dia kenal selama ini, melainkan kota asing, bukan
lagi tempat bermain, melainkan medan perang yang menakutkan, bukan lagi kota
yang aman dan damai, tapi kota yang penuh dengan ketakutan dan rintihan, tak
jarang rumah disekitar daerahnya terkena hantaman bom yang salah sasaran itu,
hampir seharian dia mengurung diri di kamar, tak banyak yang dia lakukan,
sebagian besar yang dia lakukan hanyalah termenung, melamun, ingin sekali
rasanya dia membebaskan dirinya dari ‘neraka’ dunia ini.. dari suara hantaman
bom, dari suara peluru dari senapan Kalashnikov, dan suara reruntuhan bangunan
yang lebih mirip suara petir baginya, sangat memekikan telinga, tentu saja dia
tak bisa beradaptasi dengan situasi seperti ini, sebuah keputusan yang tak bisa
disetujuinya, tapi tentu saja dia tak bisa menyalahkan alam, semua peperangan
ini, demi mempertahankan Negaranya sendiri ini, telah merenggut kebahagiaan
dari dirinya sendiri, menghiasi masa remajanya dengan perang dan senjata,
terasa begitu pahit.
Tak
jarang dia menemukan potongan tubuh di jalan, atap, dll. Dia juga pernah
mendapati tangan buntung yang terlontar ke jendela kamarnya sebelum akhirnya
dibersihkan ayahnya, seketika itu dia berteriak bukan main, merinding, bulu
kuduknya berdiri tegak, itu semua membuatnya jijik dengan urat-urat tangan yang
putus, kain yang dilumuri darah, daging yang sobek dan tulang yang patah dan runcing tajam tak rata, juga cincin perak yang
bertuliskan ‘I love you’ yang tersemat di jari manisnya, sesuatu itu membuatnya
seperti ada sesuatu dalam perutnya yang membuatnya ingin muntah.
Dia
juga belum berani keluar rumah semenjak ayahnya mengeluarkannya dari sekolah sebulan
bulan yang lalu, memang ini keputusan terbaik walau pahit, dibanding harus
mempertaruhkan nyawa keluar dari rumah, biasanya yang keluar rumah hanya pada
saat darurat, tak pernah mereka sekeluarga sengaja berdiam diri diluar, dan akhirnya
yang mengajarinya belajar adalah ayahnya sendiri, setiap malam Alyona datang
membawa buku ke kamar orang tuanya, dan ayahnya mengajarinya dengan sangat baik,
ditemani dengan gemuruh suara bom dan senapan yang mengisi hampir seluruh
hari-harinya. Keluar rumah memang mengundang segala kengerian, seperti keluar
dari kandang yang aman, dan memasuki alam liar yang membahayakan, memang sangat
mengerikan, bahkan sampai sekarang dia belum menemui Zahira. Alyona jadi teringat
kata sahabatnya itu.
“Hey,
Alyona. Suatu saat ketika aku telah mempunyai anak empat atau lima, dipagi hari
aku akan memungut Koran di jalan, dan aku akan mendapati wajahmu terpampang
dihalaman pertama, disana dikatakan bahwa kau telah membuat perubahan besar di
negeri ini”
Ah,
bagaimana bisa? Ayahku bahkan sudah memecatku dari jabatanku sebagai siswi,
sepertinya kau terlalu bermimpi, Zahira. Hhh.. Dimana kau sekarang Zahira? Tak
terbayangkah olehmu disini aku merindukanmu? Aku benci semua ini, segala
kerusuhan dan semua peperangan ini, aku sangat mengutuknya! Ini semua! Aku tak
tahan, ini semua merenggut kebahagiaanku bersamamu, Zahira. Jangan katakan
kalau aku takkan melihatmu lagi, walaupun keadaannya berbahaya setiap waktu,
aku pasti bisa menemuimu, Zahira. Harus pasti! Bukankah kita punya sebuah mimpi
yang tak lama lagi akan terwujud? Kita akan melakukan itu semua setelah aku
menemuimu, Zahira. Mengingat dalam peperangan di Negeri kita ini begitu banyak
tangisan, begitu banyak rintihan anak2 kecil mengemis belas kasihan, aku tak kuasa
melihatnya, dengan luka disekujur tubuh mereka. Zahira, aku tau mimpi ini
begitu nyata dan aku tahu kita bisa mewujudkannya. Makanya, aku yakin Allah
memberikan izinnya kepadaku untuk menemuimu.
J
“Mami, kita harus pergi dari sini”
Kata Alyona, membuka topic usai makan malam di rumah itu,
mereka hanya berdua saja, Ayahnya tidak bergabung dengan mereka, dia sedang
dikamar, dia masih sibuk memikirkan bagaimana nasib dan keselamatan keluarganya
nanti.
“Jangan bodoh Alyona ku, kemana lagi kita bisa pergi?”
“Kita bisa ke tempat yang lebih aman, misalnya Pakistan,
atau yang lain!”
“Satu satunya tempat teraman adalah di rumah!”
“Rumah? Tidakkah Mami lihat rumah tetangga kita ada yang
hancur menjadi debu?! Itukah yang Mami sebut ‘aman?’ ”
Mata Alyona mulai berkaca-kaca, menatap ibunya
lekat-lekat, membuatnya semakin tak yakin dapat bertemu Zahira karena jawaban
ibunya yang menentang kemauan Alyona
“Diluar sana sangat berbahaya… Memangnya siapa yang ingin
kau temui diluar sana? Para tentara dan para pemberontak?”
“Zahira Mamii.. aku sudah tak berjumpa dengannya dalam
kurun waktu yang lama..”
“Mami mengerti, tapi itu adalah
hal yang sangat bodoh, membiarkan dirimu keluar rumah dan itu tak menjamin kau
dapat bertemu dengannya! Bisakah kau menunggu?”
“Menunggu? Menunggu perang ini
usai menurut Mami? Yang benar saja, perang ini bisa berlangsung bertahun
tahun!”
Alyona bisa merasakan air mata
mengaliri pipinya, matanya sembab dan ada sesuatu yang membuat tenggorokannnya
sakit, membuatnya sulit bicara, dengan segera Alyona berlari menaiki tangga,
membanting pintu, kunci diputar lalu membanting tubuhnya di atas kasur,
terisak. Alyona menangis dalam shalatnya, berdoa untuk kakaknya dan agar ada
jalan supaya dapat bertemu Zahira.
Tak lama kedua orangtuanya memasuki kamarnya, nampaknya
ayahnya telah mengetahui pertempuran antara Alyona dan ibunya di ruang makan.
Mereka bicara dengan baik-baik, ibunya sebenarnya tahu kalau Zahira sedang di
rumah sakit, ada sedikit luka pada tubuhnya tertiban serpihan bangunan yang
rubuh, Alyona terisak mendengarnya. Akhirnya, dengan kemampuan Alyona
beragumentasi dengan baik, ibunya mengizinkannya pergi, dengan syarat pergi
bersama paman, ibunya mempercayakan keselamatan nyawa putrinya itu pada pamannya, ayahnya mendapat informasi
bahwa adiknya besok akan pindah dan melewati rumah sakit tersebut, jadi Alyona
bisa menumpanginya, lagi pula pamannya tahu jalur yang aman untuk dilewati,
jadi tak usah khawatir. Saat itu Alyona senang bukan main, dia teriak
sekencang-kencangnya, mengecup pipi kedua orangtuanya. Diam-diam ibunya merasa
akan kehilangan putri bungsunya itu.
“Aku akan menemuimu, Zahira”
Katanya sebelum dia menutup
mata. Entahlah, malam ini perasaannya begitu tenang, rileks, tak ada keraguan
dalam hatinya, yang ada hanyalah niat yang kuat dan tekad yang bulat untuk
menolong anak2 itu dan untuk bertemu sahabat tersayangnya. Setelah itu barulah
dia tidur dengan nyenyak, selama peperangan ini berlangsung baru kali ini dia
bisa tidur dengan lelapnya.
J
“Aku berangkat”
Kata Alyona pada ayah dan
ibunya, setelah pamannya bersama mobil Toyota Corolla hitam tuanya keluaran
tahun 70-an itu terparkir di halaman rumahnya. Suara luncuran roket-roket mulai
terdengar, kemudian suara ledakan besar, disusul asap hitam yang menggumpal
mengotori langit Kabul yang sudah kotor. Barang bawaan sudah lengkap, saatnya
untuk pergi.
“Kau janji pulang dengan
selamat ya, nak” kata ibunya
“Aku janji, Mami” jawab Alyona
sambil mengecup pipi ibunya
“Ayah, aku berangkat” giliran
Alyona mengecup tangan ayahnya
“Ingat, kau harus berhati-hati”
Pesan ayahnya
“Aku janji”
Setelah perpisahan, Alyona
pergi bersama pamannya, pamannya bercerita tentang niatnya ke Pakistan untuk
menyusul anak dan isterinya disana, dia juga menanyakan tujuan Alyona ke Rumah
Sakit dan untuk bertemu siapa, perjalanan mereka memakan waktu 8 jam, Alyona
melakukan shalat dalam mobil, lalu Alyona tertidur dia bermimpi dia bertemu
bidadari di suatu tempat yang sangat indah, dia terbangun. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit pukul
empat sore.
Setelah
berpamitan dengan pamannya dan mengucapkan sejuta terima kasih, Alyona dengan
ranselnya harus menyebrangi jalan untuk menggapai rumah sakit itu. Jalan itu
sepi, terlihat sebuah mobil yang sudah hangus terbakar, jalanan yang retak, lampu-lampu
jalan rusak, di pohon pun yang tersisa hanyalah batangnya. Dia menarik nafas
dan mulai melangkahkan kakinya diawali dengan bismillah.. yah, dia berhasil
sejauh ini, tinggal 10 meter lagi sampai di rumah sakit.
Namun
langkahnya tiba-tiba terhenti, padahal sebentar lagi dia sampai, pandangannya
tajam lurus kedepan, tak menyangka siapa sosok yang terlihat, setengah tak
bernafas dia mencoba mengeja nama itu “I.. Itukah?? Za… Zah.. Zahira?”.
Tebakannya benar, itu Zahira, berada di teras rumah sakit, sendirian, diatas
kursi roda, tangannya di gips, tangan lainnya melambai-lambai pada Alyona,
wajahnya sangatlah senang, dari kejauhan terlihat Zahira menangis terharu.
Begitu juga Alyona.
Tiba-tiba
ada satu roket jatuh dari langit, menimpa Alyona yang masih berdiam diri di
tengah jalan, melamun. Zahira yang begitu kagetnya langsung mengayuh kursi
rodanya dengan sebelah tangan, sambil berteriak “Tolong!” Orang2 dalam rumah
sakit pun berlarian keluar.
Kejadian
yang sungguh tiba-tiba, Alyona terlontar, tubuhnya kini bersimbah darah dan
menjadi beberapa bagian, tubuhnya telah terhempas ke jalan dan terbakar,
kakinya putus, terlempar ke teras rumah sakit, kaki yang masih terbalut kaus
kaki dan sepatu hitam kesayangannya. Mayat Alyona kini berada di tengah-tengah kobaran
api, Zahira tak kuasa melihatnya, tangisnya meledak, ini masih sesuatu yang
mustahil bagi Zahira. Dia menatap wajah Alyona, matanya masih terbuka seolah
sedang menatapnya, Dan Zahira masih melihat air mata di pipi Alyona, yang
dahulu dialah yang selalu menghapusnya dengan jempol kala Alyona sedang sedih.
L
Keesokan harinya, di rumah Alyona
Zahira
hanya bisa termenung di depan mayat sahabatnya itu, terisak di rumah Alyona
sambil memeluk foto Alyona yang sedang tersenyum manis berseragam hijau, namun sekarang
mayatnya sudah ditaruh di sebuah balok kayu putih berukiran bunga melati, itu
karena tubuhnya sudah terpisah, sementara ibunya menangis histeris, sedang ditenangkan
oleh ayahnya dan para tetangga yang masih selamat.
Zahira
terlihat telah kehilangan sesuatu yang amat sangat berharga baginya melebihi
emas dan permata, Alyona, dulu yang membiarkan Zahira mengepang rambutnya,
dulunya Alyonalah yang mengolesi cat kuku di jari2 Zahira, Alyona yang dulu
sering kalah beradu fisika dengannya, yang nantinya akan membangun sebuah mimpi
membangun panti asuhan, harus pergi. Alyona yang tidak bisa memenuhi janji
ibunya untuk pulang selamat, Alyona yang tidak bisa melihat kakaknya pulang
membawakan hadiah kemerdekaan, Alyona tidak diberi kesempatan untuk hidup lebih
lama lagi, dan itu takdir, tak ada satu orang pun yang bisa mengubah
kehendak-Nya.
“Alyona,
kau tidak mati sia-sia, kau mati bersama niat yang begitu mulia, aku merasakannya.
Kau akan melihat negri kita ini merdeka, dan aku akan membangun panti asuhan
sepeti katamu. Kau akan melihatnya... Melalui mataku” Tutur Zahira dalam hati.
The End.
Oleh : Dini Zahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar